Sabtu, 27 November 2010

Keeksotisan Kabaena dan Misterinya

Ledakan Gunung Sangiawita Dianggap Gendang Lumense

Pulau Kabaena banyak menyimpan pesona wisata alam. Salah satu yang terkenal di daerah itu adalah Gunung Saba Mpolulu, yang merupakan salah satu gunung tertinggi di Sultra. Tapi tak banyak yang tahu bila bahagian dari anak gunung itu yang bernama Sangiawita yang terletak di Tangkeno, masih menyimpan keangkeran. Dari penelusuran Kendari Pos, disitulah asal mula tarian Lumense, yang sangat terkenal di Kabupaten Bombana. Tarian yang mulanya diperagakan oleh orang-orang kemasukan roh halus.

Awal Nurjadin

Melihat eksotisme Gunung Saba Mpolulu mulai terasa kala berlayar mendekat Pulau Kabaena. Kaki gunung itu tepat berada di Tangkeno, Kecamatan Kabaena Tengah. Saat Kendari Pos berkunjung ke lokasi itu, cuaca dingin masih terasa hingga sekitar pukul 11.00 Wita.
 
 Keanehan berkunjung ke Tangkeno mulai terasa kala membaca gerbang desa yang merupakan pintu masuk. Di situ tertulis ‘’Selamat Datang di Desa Enano di Tangkeno’’. Di desa sebelahnya tertulis ‘’Selamat Datang di Desa Tangkeno di Enano’’.
  
Untuk melihat gunung Sangiawita yang merupakan anak gunung Saba Mpolulu lebih dekat di Desa Enano. Dalam bahasa Kabaena, kata Saba berarti muncul atau datang. Sedangkan kata Mpolulu berarti mengejar. Oleh masyarakat setempat, kata Saba Mpolulu diasosiasikan bentuk gunung yang muncul dan saling mengejar. Sedangkan Sangiawita terdiri dari dua kata yakni Sangia bermakna raja atau wali, dan Wita berarti tanah.
  
Salah satu tokoh adat yang ditemui, Abdul Majid Ege menjelaskan, di gunung Sangiawita adalah pertama kali tarian lumense ditemukan. Mulanya Lumense bukan untuk menghibur tapi sebagai bentuk upacara adat menolak bala, dan yang menari hanya seorang saja. Yang kali pertama menemukan adalah Wolia Mpehalu, dia adalah perempuan yang memiliki indra ke enam. ‘’Tapi dia sebenarnya adalah terkategori makhluk halus,’’ terang Majid Ege.
  
Sebelum bercerita jauh tentang Lumense dan Sangiawita, penulis sempat mengorek latar belakang Majid Ege. Ia merupakan Kepala Desa Enano setelah pensiun dari guru. Selain itu saat Musyawarah Adat Moronene-Kabaena, ia diangkat menjadi Ketua Lembaga Adat Moronene–Tokotua hingga sekarang. Tokotua adalah sebutan penduduk lokal Kabaena untuk menyebut pulau mereka.
  
Tarian Lumense selalu disertai bunyi gendang yang mempunyai irama tertentu. Asal mula bunyi gendang itu diyakini bergema dari Gunung Sangiawita. Biasanya bunyi ledakan teratur itu terjadi tiap bulan purnama. ‘’Hingga sekarang bunyi gendang bergema sering terdengar dari Gunung Sangiawita kala suasana tengah hening di tengah malam bulan purnama,’’ terang Majid Ege.
  
Cerita tentang Wolia Mpehalu mendapat ‘’ilham’’ untuk menarikan Lumense terjadi setelah delapan bulan purnama ia melakukan pertapaan di Watusangia. Miano binta wawosangia (Bidadari dari kahyangan, red) yang dipercaya memberikan pakaian khusus pertama kali bagi penari, disertai empat gong besar. Saat menari itulah tiba-tiba muncul batang pisang yang ditebang.
  
Tarian itu dilakukan bila Kabaena dianggap dalam keadaan bahaya. Penari Lumense mulanya tidak ditunjuk, tapi diantara wanita yang kemasukan roh halus. Ia yang melakukan gerakan khusus tari-tarian tanpa pernah berlatih mengikuti irama gendang. Biasanya tarian berakhir pasca pisang ditebang karena dianggap sebagai penebus bala.
  
Bentuk sembahan itu kata Majid Ege terjadi hingga tahun 1950-an. Sepengetahuannya, perempuan terakhir yang menarikan Lumense setelah kemasukan roh halus bernama Tina Baheya. Tarian itu dilakukan kala musim barat, Kabaena diserang semacam penyakit cacar. Ketika itu sekitar 50 orang tewas akibat penyakit tersebut. Setelah dilakukan tarian Lumense, penyakit itu menghilang.
  
Lumense sebagai ritual tolak bala mulai menghilang kala ajaran Islam masuk. Yang pertama kali melakukan penyebaran adalah KH Abdul Latif dari Binongko. Apalagi setelah KH Daud, putera Kabaena yang pulang menyebarkan Islam di tanah kelahirannya pasca belajar dari Timur Tengah. Ia bahkan melarang total kegiatan Lumense. Nanti setelah tahun 1970-an, Lumense diperkenalkan sebagai tarian Budaya pertama kali di Balo, Kabaena bagian timur. Kini setelah beberapa kali modifikasi, Lumense mulai sering terlihat, terutama kala menyambut pejabat yang berkunjung ke Kabaena.
  
Kini kata Majid di gunung Sangiawita itu biasanya pengunjung menggunakan untuk bertapa. Rata-rata mencari ilmu kebal. Tapi dilakukan secara bersembunyi karena merasa sudah malu dengan kondisi sekarang. Jika didapatinya selalu diingatkan bila tindakan tersebut merupakan langkah bersekutu dengan jin. Diakuinya banyak jin yang bermukim di Sangiawita. Namun tentu sulit membuktikan secara ilmiah. Tapi sepengetahuannya di daerah Watusangia (bukan Sangiawita, red), gunung yang terdapat di jalur Tangkeno-Teomokole, tak bisa dilalui pesawat. Beberapa kali orang luar Kabaena terutama pengusaha tambang yang pernah melewati puncak gunung itu dengan pesawat atau helikopter menjelaskan padanya.  Pantauan Kendari Pos, di atas puncak gunung Sangiawita seperti terdapat kawah. Konon tempat itulah yang biasanya digunakan sebagai tempat pertapaan. ‘’Orang pintar dari luar juga mengakui bila Kabaena merupakan tempat bermukimnya jin,’’ tukasnya.
  
Keangkeran Sangiawita juga diakui gubernur Nur Alam. Saat melakukan kunjungan kerja di Tangkeno, Senin (12/7) lalu, dihadapan penduduk setempat ia menjelaskan sebelum terpilih menjadi Gubernur Sultra, pernah datang berkunjung kesitu untuk bermunajat. Dipilihnya tempat itu karena dianggapnya tempat tertinggi yang dihuni manusia. Harapannya agar diberikan posisi yang tertinggi diantara masyarakat Sultra. ''Kini keinginan itu terwujud saya sudah jadi gubernur. Dengan kedatangan kali ini, saya sudah empat kali kesini,'' terangnya kala itu.(*)

Kabaena History